Kades Lulus PPPK di PALI Terindikasi Sarat Pelanggaran Hukum, Ini Sangksinya

MEDIAPAGI.CO.ID, PALI – Kegaduhan di ranah publik atas kelulusan 3 oknum Kepala Desa (Kades) di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Sumatera Selatan, pada seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Tahap I 2024, masih belum reda. Alih-alih mengaku salah, salah satu Kades bahkan menjustifikasi (membenarkan) perbuatan mereka itu. Padahal, proses keikutsertaan mereka pada seleksi itu, diduga sarat dengan pelanggaran hukum.

Pada sebuah video yang beredar, Rudini, Kades Sukamaju Kecamatan Talang Ubi, yang merupakan salah satu oknum Kades yang lulus PPPK, dengan penuh percaya diri mengatakan bahwa alasannya ikut seleksi PPPK adalah untuk menunjukkan kemampuan dirinya, serta untuk membuat bangga para kades sekabupaten PALI. Ia juga membenarkan, bahwa selama ini ia telah merangkap jabatan atau profesi lain yakni selain sebagai Kades, yakni juga bekerja sebagai guru honorer di sebuah sekolah di wilayah desanya.

“Saya mengajar mata pelajaran, jadi tidak seharian di sekolah. Saya juga terdaftar di Dapodik Dinas Pendidikan,” terangnya, tanpa rasa bersalah.

Ketua Umum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) SIKAP Indonesia, sekaligus praktisi hukum, ADV. Susanto Husin, S.H.,M.H.,CTA., mengatakan, bila dicermati dan dianalisa dari sudut pandang aturan perundang-undangan, ada banyak sekali indikasi pelanggaran hukum yang telah dilakukan pada proses ikutsertanya para Kades itu di seleksi PPPK tersebut.

Yang pertama, kata Susanto, adalah gandanya atau rangkap jabatan Kades, sebelum ia mengikuti seleksi PPPK. Sebab, salah satu syarat untuk mengikuti seleksi PPPK adalah pelamar wajib telah bekerja di instansi itu, dan masih aktif bekerja hingga ia mendaftar, minimal 2 tahun terakhir, tanpa terputus.

“Surat itu dibuktikan dengan SK bekerja, ada pernyataan dari atasan langsung di atas kertas bermaterai. Dan bila guru, juga harus terdaftar di Dapodik,” urainya, saat dimintai pendapat media ini, via telepon, Kamis (16/1/2025).

Dengan demikian, tambahnya, Kades bisa dipastikan telah bekerja di dua instansi yang berbeda pada saat bersamaan. Yakni sebagai Kades yang merupakan pimpinan tertinggi di instansi pemerintah di desanya, sekaligus sebagai guru di instansi pendidikan.

“Maka bila merujuk Pasal 29 Undang-undang No. 6 Tahun 2014 yang diperbarui UU nomor 3 Tahun 2024 Tentang Desa, ada larangan secara tegas bagi Kades untuk merangkap jabatan. Hal ini karena Kades wajib bekerja penuh waktu sebagai pelayan masyarakat di desa. Bila ia ada pekerjaan lain, maka tupoksi utamanya sebagai kades akan terganggu. Belum lagi ada potensi konflik kepentingan,” terang Susanto.

Sanksi dari pelanggaran Pasal 29 UU Desa itu, dikatakannya terdapat pada Pasal 30 UU a quo, yakni diberi teguran lisan atau tertulis, diberhentikan sementara, dan bila masih saja rangkap jabatan, dapat diberhentikan secara tetap (permanen).

“Artinya, bila ada pihak melakukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN), maka SK jabatan Kades selama ia rangkap profesi ini bisa dibatalkan. Apabila dibatalkan, seluruh hak keuangan yang telah ia terima selama ini, harus dikembalikan. Karena cacat hukum.”

Melangkah ke ranah hukum pidana, Susanto Husin juga mengatakan ada potensi pelanggaran tindak pidana atas permasalahan itu. Ia menganalisa soal SK yang dibuat, termasuk Surat Pernyataan aktif mengajar yang ditanda tangani Kepala Sekolah, berpotensi ada unsur pemalsuan dan manipulasi.

Baca Juga  Polsek Tanah Abang dipimpin Oleh Kapolsek Menggelar Sosialisasi bertema “Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan Narkoba”

“Bila terbukti Kades ternyata tidak mengajar, melainkan jam-nya diisi oleh guru lain. Maka ada unsur manipulasi atau pemalsuan daftar hadir (absensi) sebagaimana dimaksud Pasal 263 KUHP. Termasuk Surat Pernyataan Aktif Mengajar yang dibuat oleh Kepala Sekolah, sebagai salah satu syarat mendaftar seleksi PPPK oknum kades, cacat hukum,” sambungnya.

Adapun bunyi Pasal 263 KUHP, yakni : Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

Selain daripada itu, delik Tidak Pidana Korupsi (Tipikor) juga bisa diterapkan pada rangkaian peristiwa rangkap jabatan oknum kades, bilamana terbukti menerima pendapatan dari dua sumber keuangan yang sama, dan merupakan anggaran negara (APBD/APBN).

“Pada pasal 2 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dikatakan : Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah,” urai Advokat yang merupakan anggota Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) itu.

Pada pasal 3-nya berbunyi : setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit 50 juta rupiah dan maksimal 1 miliar.

“Artinya, baik pihak sekolah maupun pejabat lain yang membantu terlaksananya delik itu, bisa dipidana, karena telah turut serta membantu dan/atau memfasilitasi, sebagaimana dimaksud pasal 3 UU Tipikor ini. Terkait delik ini, Secara lex specialist (khusus), juga bisa dicermati Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.”

Sedangkan secara hukum Perdata, menurutnya juga bisa diajukan gugatan di Pengadilan Negeri (PN) setempat, bilamana karena peristiawa itu ada yang merasa dirugikan baik secara materil maupun imateriil, sebagaimana dimaksud Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer).

“Artinya, atas problematika lulusnya oknum kades pada seleksi PPPK ini, ada banyak sekali potensi pelanggaran yang telah dilakukan, pada konteks berbagai hukum yang berlaku di Indonesia. Tinggal lagi, apakah ada pihak yang akan sungguh-sungguh mendorong Aparat Penegak Hukum (APH) untuk mengusut dan menindak pelanggaran hukum yang telah terjadi,” pungkasnya.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, sebanyak 3 kades di Kabupaten PALI dikabarkan lulus seleksi PPPK Tahap 1 tahun 2024. Mereka adalah Rudini (Kades Sukamaju, Kecamatan Talang Ubi), Ari Meidiansyah Fitri (Kades Babat, Kecamatan Penukal), dan Rozali (Kades Betung Barat, Kecamatan Abab). Ketiganya diketahui masih aktif menjabat sebagai kades, namun juga bekerja sebagai pegawai honorer di sekolah di desanya masing-masing.[Hera]

Komentar